Tak Terasa, Sepuluh Tahun Sudah
Begitu
waktu melontarkan kita secepat anak panah meninggalkan sang busur.
Sepuluh tahun berselang sejak saya terakhir menapakkan kaki di bumi
smalane.
Pulang
Setiap
manusia selalu merindu rumah. Merindu pulang. Meski telah lama tak saya
singgahi ruang-ruang smala. Tetap tapak-tapak kaki kami telah menjejak
di sana. Derai tawa kami pernah memenuhi udaranya. Tangis dan tawa kami
masih menyisakan cerita. Rapi tersimpan dalam bilik memori. Namun selalu
setia menghadirkan hangat dalam dada. Pulang adalah kata yang mewakili
rasa itu. Saat kaki ini kembali menyusuri lorong-lorong memori smalane,
saya merasa pulang.
Kisah dalam Secarik Kertas di Dinding
Jujur,
tak ada segurat maksudpun menjadi jumawa. Melihat deretan nama alumni
kami: Ibu Tri Rismaharini, dan segudang punggawa negeri ini. Saya
pribadi datang, bukan dalam kapasitas merasa menjadi “seseorang” saat
ini. Saya datang untuk berbagi, sesederhana itu.
Beberapa waktu saya habiskan untuk tune in
dengan smala saat ini. Bagaimanapun saya telah meninggalkan sekolah ini
15 tahun lalu. Bukan waktu yang singkat. Kacamata saya perlu
dikalibrasi, hehe.
Dan saya merasa tersengat. Beberapa
pesan di dinding, mengisyaratkan hal yang senada. Jeritan hati alumni,
dari beberapa angkatan mengenai integritas dan kejujuran siswa negeri
ini. Dalam hal ini, tentu secarik kertas (atau bercarik kertas) itu
ditujukan untuk adik-adik smalane.
“Weits, apa benar
nih yang saya baca?” gurat kening ini makin terasa. Menyisakan deret
tanya. Mungkinkah, sebagian (meskipun saya yakin sebagian keciiiil)
adik-adik saya begitu didera, entah kecemasan, stres, ketakutan, atau
semacamnya terkait unas sehingga muncul keresahan mengenai “kasus joki” di situ. Cukup lama
saya tercenung. Berulang kali hati ini berkata “Tidak mungkin.Tidak
mungkin.Ini berita tidak benar.”
Apalah Lima Belas Menit Itu
Tiga alumni lintas angkatan berbagi pengalaman di hari ini. Dalam semangat positif yang sama. Dalam keprihatinan yang menganga.
Tak
banyak yang mampu kami sampaikan dalam lima belas menit itu. Apalah
lima belas menit itu. Hanya sejengkal waktu. Dibandingkan saat
adik-adikku bergulat dengan diri mereka sendiri. Berjuang untuk harapan,
mimpi, dan masa depan mereka sendiri.
Sebagaimana
sharing kakak kepada adik-adiknya, saya hanya mampu berkata dalam hati.
Apabila semua kata-kata kami yang berhamburan ke udara ruang kelas
smalane hampir tak berbekas dalam ingatan kalian, tolong ingatlah satu
hal dari seorang Gandhi. Bukan dari saya, siapa lah saya dalam lautan
orang-orang besar di muka bumi ini. Saya percaya, pendidikan seharusnya
terkait dengan kesuksesan terbesar manusia yakni pencapaian kebahagiaan
itu sendiri.
Dan ingat kata Gandhi bahwa “Happiness is when what you think, what you say, and what you do are in harmony”
Dan kalian boleh melupakan semua kata-kata selain itu. Selamat berjuang, adik-adikku!
Salam,
Kakakmu
**
Notes:
Smalane merupakan "panggilan akrab" dari sekolah menengah atas tempat saya belajar dahulu, sman 5 Surabaya. Diambil dari lagu kebangsaan "Smalane"
Smalane
Suci dalam pikiran
Smalane
Benar jika berkata
Smalane
Tepat dalam tindakan
Smalane
Dapat Dipercaya
oo arek suroboyo tho
ReplyDeleteIyooo, mbak 😁
Delete